SAHRUN GAUS : Jika Ada Masalah "Waatako Hai Damotua"
11 December, 2018
Add Comment
SAHRUN GAUS
KABAENAPOS.COM
Assalamu ‘Alaikum Wr.Wb.
Salam Persaudaraan
Dahulu, seperti sebagian yang saya dituturkan oleh para tetua kampung, dan sebagiannya lagi masih sempat saya saksikan sendiri, jikalau ada silang sengketa sesama saudara sekampung, sepelik apapun masalahnya, biasanya dapat diselesaikan dengan baik, melalui mediasi para tetua kampung.
Istilah “waatako hai damotua” adalah cara yang sering dilakukan bagi para pencari keadilan. Tanpa melalui peran pengacara maupun hakim seperti peradilan formal sekarang ini, proses penyelesaian sengketa acapkali berakhir dengan baik, yang ditandai dengan pihak-pihak yang bersengketa saling memaafkan. Tidak jarang kita saksikan mereka saling berpelukan sambil menangis. Damai.
Yang juga pernah sempat saya saksikan, ada kasus yang berasal dari luar kampung, diadukan ke tetua-tetua dan tokoh adat kita, karena menurut pandangan mereka, dikampung kita masih tersisa orang-orang bijak yang dapat memberikan solusi atas masalah yang dihadapinya.
Mengapa ?
Menurut amatan saya, ini bisa terjadi, karena 2 hal :
1. Karena memang solusi yang ditawarkan oleh para tetua kita, menggunakan pendekatan hati yang jernih dan tulus, kejujuran yang tinggi, kecerdasan dan arif-bijaknya mereka sehingga mampu menemukan jalan keluar yang baik atas masalah tersebut.
2. Adanya kebesaran jiwa dari pihak-pihak yg bersengketa untuk saling memahami. Ada ruang yang jauh dalam lubuk hatinya untuk saling memberi dan menerima. Ada kesadaran yang tinggi bahwa kita adalah saudara. Kesadaran bahwa dalam sebuah masalah yang perlu dicapai adalah titik temu pada persamaannya, bukan perbedaannya.
Hari ini semua itu nampaknya sudah mulai memudar.
Dimana “anak kampungnya” sudah mulai enggan sowan kepada tetuanya, dan para tetua seolah sudah mulai abai. Mungkin karena mereka sudah tidak dipandang penting lagi. Atau karena anak-anaknya hanya memposisikan mereka pada prosesi adat tertentu saja seperti adat pernikahan dsb.
Atau bahkan kepercayaan kepada mereka sudah menipis, sehingga sudah lebih mempercayai “pihak lain” seperti kepada makhluk yang bernama media sosial, media cetak/elektronik atau unjuk rasa, yang karenanya kita bisa mempertontonkan dan membuka aib saudara sendiri ke dunia luar.
Padahal ajaran agama kita menegaskan dengan gamblang bahwa siapa yang membuka aib saudaranya laksana ia memakan bangkai.
Tentu saja setiap persoalan tidak berdiri sendiri. Selalu hadir dalam dua sisi. Ada sebab, ada akibat. Ada aksi, ada reaksi.
Dengan tidak berpretensi untuk menyalahkan atau membenarkan siapa, sebagai anak kampung saya mengetengahkan pertanyaan sederhana kepada saudara-saudara saya sesama anak kampung'
1. Sebegitu parahnya kah rasa kehilangan kepercayaan kita kepada para tetua kita, kakak-kakak kita dan sebaya kita, sehingga kita tidak bisa lagi “watako hai damotu'a” atas persoalan yang sedang kita hadapi?
2. Sebegitu rumitkah persoalannya sehingga kita harus lebih mempercayai "pihak lain" untuk mengadu, daripada saudara sendiri?
3. Masih bisakah kita duduk bersama berunding dalam nuansa persaudaraan (karena memang kita saudara), sembari ngopi bareng ditemani pisang goreng hangat?
Sebagai anak kampung yang terlahir di Lengora, dari bapak dan ibu asli Lengora, saya sangat mengenal karakter saudara saya. Dan saya meyakini, bahwa saudaraku semuanya bisa bermusyawarah dengan santun dan bijaksana.
Saudaraku....
Mari kita duduk bersama. Kita satukan segenap potensi kita. Untuk berfastabiqul khaerat.
Bahwa ada yang keliru diantara kita, mari kita perbaiki. Jangan membiarkan kekeliruan saudara kita berlarut.
Kepada mereka pemegang amanah dikampung, Bimbinglah saudara kita. Terimalah segara saran bahkan kritik, sebagai vitamin kemajuan yang kadangkala pahit diawal tapi berbuah manis kemudian.
Jika ada keinginan untuk rembug
Tapi masih enggan memulai
Sebagai saudara saya siap jadi tuan rumah
Tapi sewa ditanggung sendiri-sendiri... he..he..
Teakhir izinkan saya mengutip petuah kuno dari leluhur kita. Mungkin masih relevan :
Inai-inaimo damehawa’o wonua, dahoo nta tumpaiho kabarakatino,
Inai-inaimo dabungkuiho wonua, dahoo nta tumpaiho tuarano
Anak kampung Lengora dirantau
By:Sahrun Gaus
KABAENAPOS.COM
Assalamu ‘Alaikum Wr.Wb.
Salam Persaudaraan
Dahulu, seperti sebagian yang saya dituturkan oleh para tetua kampung, dan sebagiannya lagi masih sempat saya saksikan sendiri, jikalau ada silang sengketa sesama saudara sekampung, sepelik apapun masalahnya, biasanya dapat diselesaikan dengan baik, melalui mediasi para tetua kampung.
Istilah “waatako hai damotua” adalah cara yang sering dilakukan bagi para pencari keadilan. Tanpa melalui peran pengacara maupun hakim seperti peradilan formal sekarang ini, proses penyelesaian sengketa acapkali berakhir dengan baik, yang ditandai dengan pihak-pihak yang bersengketa saling memaafkan. Tidak jarang kita saksikan mereka saling berpelukan sambil menangis. Damai.
Yang juga pernah sempat saya saksikan, ada kasus yang berasal dari luar kampung, diadukan ke tetua-tetua dan tokoh adat kita, karena menurut pandangan mereka, dikampung kita masih tersisa orang-orang bijak yang dapat memberikan solusi atas masalah yang dihadapinya.
Mengapa ?
Menurut amatan saya, ini bisa terjadi, karena 2 hal :
1. Karena memang solusi yang ditawarkan oleh para tetua kita, menggunakan pendekatan hati yang jernih dan tulus, kejujuran yang tinggi, kecerdasan dan arif-bijaknya mereka sehingga mampu menemukan jalan keluar yang baik atas masalah tersebut.
2. Adanya kebesaran jiwa dari pihak-pihak yg bersengketa untuk saling memahami. Ada ruang yang jauh dalam lubuk hatinya untuk saling memberi dan menerima. Ada kesadaran yang tinggi bahwa kita adalah saudara. Kesadaran bahwa dalam sebuah masalah yang perlu dicapai adalah titik temu pada persamaannya, bukan perbedaannya.
Hari ini semua itu nampaknya sudah mulai memudar.
Dimana “anak kampungnya” sudah mulai enggan sowan kepada tetuanya, dan para tetua seolah sudah mulai abai. Mungkin karena mereka sudah tidak dipandang penting lagi. Atau karena anak-anaknya hanya memposisikan mereka pada prosesi adat tertentu saja seperti adat pernikahan dsb.
Atau bahkan kepercayaan kepada mereka sudah menipis, sehingga sudah lebih mempercayai “pihak lain” seperti kepada makhluk yang bernama media sosial, media cetak/elektronik atau unjuk rasa, yang karenanya kita bisa mempertontonkan dan membuka aib saudara sendiri ke dunia luar.
Padahal ajaran agama kita menegaskan dengan gamblang bahwa siapa yang membuka aib saudaranya laksana ia memakan bangkai.
Tentu saja setiap persoalan tidak berdiri sendiri. Selalu hadir dalam dua sisi. Ada sebab, ada akibat. Ada aksi, ada reaksi.
Dengan tidak berpretensi untuk menyalahkan atau membenarkan siapa, sebagai anak kampung saya mengetengahkan pertanyaan sederhana kepada saudara-saudara saya sesama anak kampung'
1. Sebegitu parahnya kah rasa kehilangan kepercayaan kita kepada para tetua kita, kakak-kakak kita dan sebaya kita, sehingga kita tidak bisa lagi “watako hai damotu'a” atas persoalan yang sedang kita hadapi?
2. Sebegitu rumitkah persoalannya sehingga kita harus lebih mempercayai "pihak lain" untuk mengadu, daripada saudara sendiri?
3. Masih bisakah kita duduk bersama berunding dalam nuansa persaudaraan (karena memang kita saudara), sembari ngopi bareng ditemani pisang goreng hangat?
Sebagai anak kampung yang terlahir di Lengora, dari bapak dan ibu asli Lengora, saya sangat mengenal karakter saudara saya. Dan saya meyakini, bahwa saudaraku semuanya bisa bermusyawarah dengan santun dan bijaksana.
Saudaraku....
Mari kita duduk bersama. Kita satukan segenap potensi kita. Untuk berfastabiqul khaerat.
Bahwa ada yang keliru diantara kita, mari kita perbaiki. Jangan membiarkan kekeliruan saudara kita berlarut.
Kepada mereka pemegang amanah dikampung, Bimbinglah saudara kita. Terimalah segara saran bahkan kritik, sebagai vitamin kemajuan yang kadangkala pahit diawal tapi berbuah manis kemudian.
Jika ada keinginan untuk rembug
Tapi masih enggan memulai
Sebagai saudara saya siap jadi tuan rumah
Tapi sewa ditanggung sendiri-sendiri... he..he..
Teakhir izinkan saya mengutip petuah kuno dari leluhur kita. Mungkin masih relevan :
Inai-inaimo damehawa’o wonua, dahoo nta tumpaiho kabarakatino,
Inai-inaimo dabungkuiho wonua, dahoo nta tumpaiho tuarano
Anak kampung Lengora dirantau
By:Sahrun Gaus
0 Response to "SAHRUN GAUS : Jika Ada Masalah "Waatako Hai Damotua""
Post a Comment